Ega Januardi.
Nama ini disebutkan sebagai aktivis terbaik saat prosesi sakral wisuda UHAMKA
Desember 2017 lalu. Sebagai mahasiswa apalagi merangkap sebagai organisatoris
tentunya akan sangat bangga ketika namanya dilantunkan sebagai aktivis terbaik.
Begitupun dengan kakak yang satu ini. Tempo hari, tim redaksi berhasil
mewawancarai beliau nih sahabat JENIUS. Banyak sekali pengalaman yang
bisa kita ambil dari kak Ega ini.
Menurutnya, awal mula proses
pengaderan di UHAMKA terlebih di FKIP ini berawal dari PEKA-MASTA atau yang
sering kita kenal Masa Orientasi. Namun lebih mendalam lagi ketika mengikuti
LKTD (Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar) dan menjadi pengurus HIMA (Himpunan
Mahasiswa). Di HIMA, kak Ega ini menjabat sebagai ketua umum HIMA PGSD. Kak Ega
berbagi cerita sedikit nih sobat,
tentang suka duka menjalankan program kerja ketika ia menjadi pengurus HIMA. Waktu
itu himpunannya berhasil bekerjasama dengan LEMLIT UHAMKA dalam melaksanakan
lomba Karya Tulis yang berhadiahkan beasiswa. Tapi bukan hanya itu sobat JENIUS, ternyata kak Ega dan kawan-kawan
juga pernah sampai akan menggadaikan motor demi program kerja yang akan
dilaksanakan. Selain itu, kak Ega dan kawan-kawan juga pernah digiring oleh
Dinas Sosial karena mengamen dan dianggap gelandangan. Wah, sampai begitu ya
sobat.
Setelah menyelesaikan tugasnya di
tingkat program studi, kak Ega beralih ke tingkat Fakultas. Ia memilih untuk
menjadi anggota dewan (wiiih), Dewan Perwakilan Mahasiswa maksudnya. Ia memilih
untuk mengambil ranah legislatif. Saat itu, rekannya di HIMA memilih ranah
eksekutif. “Kita kan tahu ya kalau eksekutif dan legislatif itu terlihat saling
bergesekan, eksekutif dengan ambisinya, sedangkan legislatif dengan
keidealannya. Tapi hal ini gak jadi
hambatan saya untuk berteman. Kita harus tetap professional, bekerja
professional. Kalau kita bekerja berdasarkan pertemanan, maka disitulah
nepotisme terjadi. Atau segalanya diuangkan, maka korupsi akan terjadi.”
Ujarnya. Patut dicontoh nih teman-teman.
Singkat kata, singkat cerita. Setelah ia menyelesaikan tanggungjawabnya di
tingkat Fakultas, lantas ia memilih untuk melanjutkan ke tingkat Universitas.
Yap, kak Ega memilih yudikatif, ia menjadi Mahkamah Mahasiswa. Baginya, belajar
tentang trias politika itu bukan hanya teori, tapi soal aksi.
“Sulit sebenarnya membagi antara
merah dan hijau. Sedangkan gak boleh
lupa tugas sebagai mahasiswa.” Begitu menurutnya ketika ia bercerita bahwa ia
aktif di ortom dan juga Keluarga Mahasiswa. Namun baginya, berorganisasi bukan
halangan untuk berprestasi di bidang akademik. Kakak yang kini sedang sibuk
mengajar dan melanjutkan S2 Magister Pendidikan di UHAMKA dengan beasiswa penuh
ini menyampaikan bahwa organisasi itu sangat penting karena akan berguna
dikemudian hari, apalagi didalam dunia kerja nanti. “Dipundak kanan kita ada
organisasi, di pundak kiri mahasiswa sejati. Tidak boleh berat sebelah atau
malah hilang. Menjadi mahasiswa itu tanggungjawab, organisasi itu adalah
teman.” Tambahnya.
Sobat JENIUS, kak Ega keren ya. Walaupun ia aktif berorganisasi, tapi
akademik tidak dilupakan. Pantas saja kak Ega bisa mendapat gelar “Aktivis
Terbaik”. Jadi, sekarang bukan lagi ‘Kuliah vs Trias Politika’ ya guys, tapi ‘Kuliah dan Trias Politika’.
Semangat!! (KFa)